Senin, 17 Juni 2013

HASIL KERAJINAN KOTA PURWOREJO






LOGO KABUPATEN PURWOREJO

Laporan: Redaksi
Ilustrasi PURWOREJO, (TubasMedia.Com) – Sebanyak 21 peragawan/wati berlenggak-lenggok di atas catwalk di Pendopo Agung Purworejo. Mereka memamerkan berbagai model batik karya Jazid Bustomi, disainer batik Purworejo. Peragaan busana tersebut merupakan bagian dari pameran batik khas Purworejo yang digelar belum lama ini.
“Pemda Purworejo saat ini sedang menggagas langkah untuk memperkenalkan batik khas Purworejo pada masyarakat umum melalui gebyar batik khas Purworejo,” kata ketua panitia penyelenggara Drs Slamet Sriyono.
Melalui pameran diharapkan masyarakat mengetahui keberadaan batik khas daerah Kabupaten Purworejo. Walaupun sebagai pameran perdana, diharapkan ada keberlanjutan di masa mendatang. Selain itu, para perajin batik juga akan terus dibina dalam manajemen produksi maupun pemasarannya.
Menurut dia saat ini keberadaan batik Purworejo masih identik dengan harga yang mahal, sehingga tidak semua kalangan bisa menikmati batik khas Purworejo. Umumnya, para perajin belum mengetahui cara penghematan produksi, sehingga harga jual masih relatif tinggi. “Untuk menekan harga jual, kami akan adakan pelatihan manajemen produksi,” katanya.
Bupati Purworejo H Mahsun Zain mengungkapkan Purworejo sebenarnya memiliki banyak potensi yang masih terpendam, termasuk kerajinan batik khas Purworejo. Untuk mendukung potensi batik , bupati mengeluarkan kebijakan bagi pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemkab Purworejo untuk mengenakan pakaian batik pada hari-hari tertentu.
Kebijakan ini sebagai langkah awal untuk menggali potensi kerajinan batik khas Purworejo yang selama ini belum banyak dikenal. Dengan kebijakan itu, maka kebutuhan batik Purworejo akan semakin banyak. Sangat potensial untuk dikembangkan, sekaligus mengangkat kesejahteraan perajin.
Hanya saja, kebijakan ini perlu didukung oleh koperasi, pedagang dan pengrajin itu sendiri. Sebab jika tidak, maka perkembangan batik juga akan sulit “Karena itu saya juga minta kepada toko pakaian, koperasi dan lainnya untuk menjual pakaian batik khas Purworejo,” harapnya.
Menurut bupati jika semua komponen bisa saling kerjasama, batik khas Purworejo akan mengemuka, termasuk melalui kegiatan gebyar batik yang diharapkan dapat mengenalkan batik khas Purworejo kepada masyarakat.
Disainer batik khas Purworejo, Jazid Bustomi mengatakan keberadaan batik khas Purworejo sebenarnya bukan sekedar tren, karena sudah ada beberapa puluh tahun lalu. Saat ini, dia sudah berhasil memasarkan karyanya hingga tingkat nasional.
Namun, masyarakat Purworejo belum banyak mengetahui batik khas daerahnya sendiri. Melalui acara ini, setidaknya masyarakat tahu ada batik khas Purworejo,” ujarnya. Desain rancangan Jazid memadukan dengan gaya busana luar negeri. Inovasi tersebut dilakukan agar lebih mudah diterima oleh masyarakat luas, dan dipadukan dengan tren masa kini.
Kegiatan gebyar batik khas Purworejo juga memamerkan berbagai kerajinan tangan seperti suvenir untuk pernikahan dan beberapa kerajinan tangan lainnya. Juga dipamerkan makanan khas Purworejo yang disediakan 20 stan. Ada sejumlah stan batik khas Purworejo yang mendukung gebyar batik 2012. Para perajin batik khas Purworejo mengaku menemui kendala pemasaran dan harga jual. (ahmad)
Berita: Edutainment
Topik: ,

MAKANAN KHAS PURWOREJO DAN KULINER

Makanan Khas Daerah

Beberapa masakan dan makanan khas Purworejo antara lain:
1. Dawet Hitam: sejenis cendol yang berwarna hitam, sangat digemari pemudik dari Jakarta. Untuk penjual dawet hitam yang asli adalah di timur jembatan Butuh.
2. Tahu Kupat (beberapa wilayah menyebut "kupat tahu"), sebuah masakan yang berbahan dasar tahu dengan bumbu pedas yang terbuat dari gula jawa cair dan sayuran seperti kol dan kecambah.
3. Geblek : makanan yang terbuat dari tepung singkong yang dibentuk seperti cincin, digoreng gurih biasa disajikan panas dengan bumbu pecel.
4. Clorot : makanan terbuat dari tepung beras dan gula merah yang dimasak dalam pilinan daun kelapa.
5. Rengginang : gorengan makanan yang terbuat dari ketan yang dimasak dijemur kemudian digoreng, berbentuk bulat, gepeng.
6. Lanting : makanan ini bahan dan bentuknya hampir sama dengan geblek, hanya saja ukurannya lebih kecil. Setelah digoreng lanting terasa lebih keras daripada geblek. Namun tetap terasa gurih dan renyah.
7. Kue Satu : Makanan ini terbuat dari tepung ketan, berbentuk kotak kecil berwarna krem, dan rasanya manis.
8.Kue Lompong : Berwarna hitam, dari gandum berisi kacang dan dibugkus dengan daun pisang yang telah coklat (klaras daun pisang yg mengering)
9.Tiwul punel: Terbuat dari gaplek ubi kayu
Krimpying : Makanan ini berbahan dasar singkong, seperti lanting tapi berukuran lebih besar dan lebih keras, berwarna krem, bentuknya bulat tidak seperti lanting yang umumnya berbentuk seperti angka delapan.Rasa makanan ini gurih.
10.Slondok, makanan terbuat dari tepung gaplek, seperti klanting namun sangat besar lingkarannya.
11.Nasi Megono, adalah nasi urap yang dicampur dengan kelapa muda serta sayur-sayuran kuluban, menu ini dahulu sebagai kelengkapan sesaji saat akan Wiwit, memulai memanen padi , dengan upacara adapt secara kecil.
12.Roti bagelen, roti yang dikeringkan.
13. Saoto Purworejo, bumbu ketumbar merica, kunyit dan rempah lain serta serai, makanan ini disajikan seperti soto namun dengan santan dan kool serta tauge. Makan dengan nasi dan sambel cabe yg digoreng dan garam saja.
14. Caranggesing, adalah makanan seperti kolak namun cara memasaknya , kolak santan mentah dan buah pisang diiris-iris disatukan ditum (bungkus daun per porsi) kemudian di kukus seperti kukus pepes , setelah masak diangkat , makannya denggan membuka daunnya dan didalamnya kolak namun dikukus dengan alat kukus nasi. Harum baunya karena daun pandannya beraroma wangi.

Wisata boga di Purworejo

Beberapa tempat makan yang disarankan di Purworejo:
1. RM Miroso Barat Pasar Kutoarjo (Depan lawangan tengah)
2.Bebek goreng Pak Dargo, stasiun KA Purworejo
3.Sate/gule Kambing LD (ex Sate Winong): Jl. Tentara Pelajar 243, Kledung (Sebelah STM Negeri / Dekat Pengadilan Negeri Purworejo), dengan menu utama "Sate Buntel". Rumah makan ini memiliki menu minuman dengan nama unik, seperti "Banteng Ketaton", "Mega Mendung", "Green/Red Wine LD", "Lidah Ibu", "Cinta LD", Hitam Putih Hidup, DLL)
4.Bakso Siput, Jl. K. H. Achmad Dahlan (Dekat Bioskop Pusaka dulu!)
5.Bakso Pak Sukar, Jalan Diponegoro Kutoarjo
6.Bakso muncul, Jl. Mayjend Katamso, pangen rejo
7.Sate kambing Pak Bedjo, Jl. Diponegoro Kutoarjo
8.RM Mbak Limboek, Sop dan masakan khas (Samping BRI Purworejo)
9.RM "Sate Magelang", di Purworejo
10.Bakmi goreng & rebus "Bp MUSLIH", utara Willy Motor pasar Bruno
11.Soto Pak Rus, Stasiun Kereta Api Purworejo
12.Ayam Panggang Mbak Purwati, sisi barat alun-alun Purworejo
13.Pondok Siomay_77 dan Soup Buah, Selatan Selis Semawung Kutoarjo
14.Soto "Pak Tono", Plaosan Buntu (Dekat Bank Jateng)

Kutoarjo
1.Rumah Makan "SEDERHANA", pemilik Bp Rusdanil sisi selatan alun-alun Kutoarjo
2.Warung Makan "Mbok Susah", sisi timur lampu merah Kutoarjo
3.RM "Gudeg Mataram", barat lampu merah Kutoarjo, sisi utara
4.Warung Nasi Goreng "Pak Da'im", terletak di Jl.Kemiri-Pituruh
5.Rumah Makan "Soto Semarang", terletak di purworejo
6.Sate Winong "Bp.Mustofa", terletak di desa winong
7.RM Sate Kambing "Mbah Thiklu", selatan BRI Bruno,Bruno
8.Siomay "Tombo Kangen", seberang Gereja Kristen Jawa (sebelah barat Bank BCA Purworejo)
9.Bakso "Bang Siput" Jl. KHA Dahlan, ada di Prapatan Kembang
10.Mie ayam pak bu Suhadak, Juara se-KEDU, Jl. Pramuka dijamin halalan toyyiban di Prapatan Kembang
10.Tiwul punel "IBU PARINAH" asli KAPITERAN, pasar NDLISEN -pituruh
11.Bakmi Ghodog & Goreng "TERBIZ" PAK DAIM asli KEREP - KEMIRI
12.Warung Sate-Gule Kambing 'Sederhana' milik Mbah Partodrono di Jalan Pituruh-Klepu
13.Opek sawangan yang khas banget,mbah TUN
14.Bakso Bang Reeno (beberapa tempat diantaranya Purworejo (gang sebelah LP), Kutoarjo wetan alun-alun, Kemiri)

SEJARAH KOTA PURWOREJO, JAWA TENGAH

Sejarah Purworejo

 Hamparan wilayah yang subur di Jawa Tengah Selatan antara Sungai Progo dan Cingcingguling sejak jaman dahulu kala merupakan kawasan yang dikenal sebagai wilayah yang masuk Kerajaan Galuh. Oleh karena itu menurut Profesor Purbocaraka, wilayah tersebut disebut sebagai wilayah Pagaluhan dan kalau diartikan dalam bahasa Jawa, dinamakan : Pagalihan. Dari nama “Pagalihan” ini lama-lama berubah menjadi : Pagelen dan terakhir menjadi Bagelen. Di kawasan tersebut mengalir sungai yang besar, yang waktu itu dikenal sebagai sungai Watukuro. Nama “ Watukuro “ sampai sekarang masih tersisa dan menjadi nama sebuah desa terletak di tepi sungai dekat muara, masuk dalam wilayah Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo. Di kawasan lembah sungai Watukuro masyarakatnya hidup makmur dengan mata pencaharian pokok dalam bidang pertanian yang maju dengan kebudayaan yang tinggi.
Pada bulan Asuji tahun Saka 823 hari ke 5, paro peteng, Vurukung, Senin Pahing (Wuku) Mrgasira, bersamaan dengan Siva, atau tanggal    5 Oktober 901 Masehi, terjadilah suatu peristiwa penting, pematokan Tanah Perdikan (Shima). Peristiwa ini dikukuhkan dengan sebuah prasasti batu andesit yang dikenal sebagai prasasti Boro Tengah atau Prasasti Kayu Ara Hiwang.
Prasasti yang ditemukan di bawah pohon Sono di dusun Boro tengah, sekarang masuk wilayah desa Boro Wetan Kecamatan Banyuurip dan sejak tahun 1890 disimpan di Museum Nasional Jakarta Inventaris D 78 Lokasi temuan tersebut terletak di tepi sungai Bogowonto, seberang Pom Bensin Boro.
Dalam Prasasti Boro tengah atau Kayu Ara Hiwang tersebut diungkapkan, bahwa pada tanggal 5 Oktober 901 Masehi, telah diadakan upacara besar yang dihadiri berbagai pejabat dari berbagai daerah, dan menyebut-nyebut nama seorang tokoh, yakni : Sang Ratu Bajra, yang diduga adalah Rakryan Mahamantri/Mapatih Hino Sri Daksottama Bahubajrapratipaksaya atau Daksa yang di identifikasi sebagai adik ipar Rakal Watukura Dyah Balitung dan dikemudian hari memang naik tahta sebagai raja pengganti iparnya itu.
Pematokan (peresmian) tanah perdikan (Shima) Kayu Ara Hiwang dilakukan oleh seorang pangeran, yakni Dyah Sala (Mala), putera Sang Bajra yang berkedudukan di Parivutan.
Pematokan tersebut menandai, desa Kayu Ara Hiwang dijadikan Tanah Perdikan(Shima) dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, namun ditugaskan untuk memelihara tempat suci yang disebutkan sebagai “parahiyangan”. Atau para hyang berada.
Dalam peristiwa tersebut dilakukan pensucian segala sesuatu kejelekan yang ada di wilayah Kayu Ara Hiwang yang masuk dalam wilayah Watu Tihang.
“ … Tatkala Rake Wanua Poh Dyah Sala Wka sang Ratu Bajra anak wanua I Pariwutan sumusuk ikanang wanua I Kayu Ara Hiwang watak Watu Tihang …”
Wilayah yang dijadikan tanah perdikan tersebut juga meliputi segala sesuatu yang dimiliki oleh desa Kayu Ara Hiwang antara lain sawah, padang rumput, para petugas (Katika), guha, tanah garapan (Katagan), sawah tadah hujan (gaga).
Disebut-sebutnya “guha” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang tersebut ada dugaan, bahwa guha yang dimaksud adalah gua Seplawan, karena di dekat mulut gua Seplawan memang terdapat bangunan suci Candi Ganda Arum, candi yang berbau harum ketika yoninya diangkat. Sedangkan di dalam gua tersebut ditemukan pula sepasang arca emas dan perangkat upacara. Sehingga lokasi kompleks gua Seplawan di duga kuat adalah apa yang dimaksud sebagai “parahyangan” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang.
Upacara 5 Oktober 901 M di Boro Tengah tersebut dihadiri sekurang-kurangnya 15 pejabat dari berbagai daerah, antara lain disebutkan nama-nama wilayah : Watu Tihang (Sala Tihang), Gulak, Parangran Wadihadi, Padamuan (Prambanan), Mantyasih (Meteseh Magelang), Mdang, Pupur, Taji (Taji Prambanan) Pakambingan, Kalungan (kalongan, Loano).
Kepada para pejabat tersebut diserahkan pula pasek-pasek berupa kain batik ganja haji patra sisi, emas dan perak. Peristiwa 5 Otober 901 M tersebut akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1994 dalam sidang DPRD Kabupaten Purworejo dipilih dan ditetapkan untuk dijadikan Hari jadi Kabupaten Purworejo. Normatif, historis, politis dan budaya lokal dari norma yang ditetapkan oleh panitia, yakni antara lain berdasarkan pandangan Indonesia Sentris.
Perlu dicatat, bahwa sejak jaman dahulu wilayah Kabupaten Purworejo lebih dikenal sebagai wilayah Tanah Bagelen. Kawasan yang sangat disegani oleh wilayah lain, karena dalam sejarah mencatat sejumlah tokoh. Misalnya dalam pengembangan agama islam di Jawa Tengah Selatan, tokoh Sunan Geseng diknal sebagai muballigh besar yang meng-Islam-kan wilayah dari timur sungai Lukola dan pengaruhnya sampai ke daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupatn Magelang.
Dalam pembentukan kerajaan Mataram Islam, para Kenthol Bagelen adalah pasukan andalan dari Sutawijaya yang kemudian setelah bertahta bergelar Panembahan Senapati. Dalam sejarah tercatat bahwa Kenthol Bagelen sangat berperan dalam berbagai operasi militer sehingga nama Begelen sangat disegani.
Paska Perang Jawa, kawasan Kedu Selatan yang dikenal sebagai Tanah Bagelen dijadikn Karesidenan Bagelen dengan Ibukota di Purworejo, sebuah kota baru gabungan dari 2 kota kuno, Kedungkebo dan Brengkelan.
Pada periode Karesidenan Begelen ini, muncul pula tokoh muballigh Kyai Imam Pura yang punya pengaruh sampai ke Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hampir bersamaan dengan itu, muncul pula tokoh Kyai Sadrach, penginjil Kristen plopor Gereja Kristen Jawa (GKJ).
Dalam perjalanan sejarah, akibat ikut campur tangannya pihak Belanda dalam bentrokan antara para bangsawan kerajaan Mataram, maka wilayah Mataram dipecah mejadi dua kerajaan. Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Tanah Bagelen akibat Perjanjian Giyanti 13 pebruari 1755 tersebut sebagai wilayah Negara Gung juga dibagi, sebagian masuk ke Surakarta dan sebagian lagi masuk ke Yogyakarta, namun pembagian ini tidak jelas batasnya sehingga oleh para ahli dinilai sangat rancu diupamakan sebagai campur baur seperti “rujak”.
Dalam Perang Diponegoro abad ke XIX, wilayah Tanah Bagelen menjadi ajang pertempuran karena pangeran Diponegoro mndapat dukungan luas dari masyarakat setempat. Pada Perang Diponegoro itu, wilayah Bagelen dijadikan karesidenan dan masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda dengan ibukotanya Kota Purworejo. Wilayah karesidenan Bagelen dibagi menjadi beberapa kadipaten, antara lain kadipaten Semawung (Kutoarjo) dan Kadipaten Purworejo dipimpin oleh Bupati Pertama Raden Adipati Cokronegoro Pertama. Dalam perkembangannya, Kadipaten Semawung (Kutoarjo) kemudian digabung masuk wilayah Kadipaten Purworejo.
Dengan pertimbangan strategi jangka panjang, mulai 1 Agustus 1901, Karesienan Bagelen dihapus dan digabungkan pada karesidenan kedu. Kota Purworejo yang semula Ibu Kota Karesidenan Bagelen, statusnya menjadi Ibukota Kabupaten.
Tahun 1936, Gubernur Jenderal Hindia belanda merubah administrasi pemerintah di Kedu Selatan, Kabupaten Karanganyar dan Ambal digabungkan menjdi satu dengan kebumen dan menjadi Kabupaten kebumen. Sedangkan Kabupaten Kutoarjo juga digabungkan dengan Purworejo, ditambah sejumlah wilayah yang dahulu masuk administrasi Kabupaten Urut Sewu/Ledok menjadi Kabupaten Purworejo. Sedangkan kabupaten Ledok yang semula bernama Urut Sewu menjadi Kabupaten Wonosobo.
Dalam perkembangan sejarahnya Kabupaten Purworejo dikenal sebagai pelopor di bidang pendidikan dan dikenal sebagai wilayah yang menghasilkan tenaga kerja di bidang pendidikan, pertanian dan militer.
Tokoh-tokoh yang muncul antara lain WR Supratman Komponis lagu Kebangsaan “Indonesia raya”. Jenderal Urip Sumoharjo, Jenderal A. Yani, Sarwo Edy Wibowo dan sebagainya.
Para tokoh maupun tenaga kerja di bidang pertanian pendidikan, militer, seniman dan pekerja lainnya oleh masyarakat luas di tanah air dikenal sebagai orang-orang Bagelen, nama kebangsaan dan yang disegani baik di dalam maupun di luar negeri.

(Sumber: Buku POTENSI WISATA PURWOREJO – Yayasan Arahiwang Purworejo Jakarta)